Materi Alternatif Tema 4 Berbagi Pekerjaan

Materi Alternatif Tema 4 Berbagi Pekerjaan

Kiki dan Lala, Kelinci Tersayang
Sudah lama Wuli ingin punya kelinci. Entah kenapa, ia suka sekali melihat kelinci putih yang lucu melompat-lompat. Apalagi ketika melihat telinga kelinci yang bergerak-gerak. Menggemaskan! Wuli bahkan sudah membaca berbagai artikel dan buku mengenai perawatan kelinci. Ia ingin menyiapkan diri. Siapa tahu saja suatu hari nanti Ibu mengabulkan keinginannya.

Betapa senang hati Wuli ketika Kakek datang membawa dua ekor kelinci kecil berwarna putih. Ya, untuk Wuli! Kakek memang sangat sayang pada Wuli. Ia juga tahu bahwa Wuli sudah belajar banyak tentang merawat kelinci. Kakek menganggap Wuli sudah cukup besar, dan sudah siap merawat kelincinya sendiri.

Kiki dan Lala, begitu Wuli menamai kelincinya. Kiki dan Lala dibuatkan rumah sendiri oleh Mang Asep di halaman belakang. Pagi hari, Wuli akan membukakan pintu rumah mungil tersebut, dan membiarkan Kiki dan Lala bermain bebas sebentar di halaman. Sebelum berangkat ke sekolah, Wuli menyiapkan biji jagung, kedelai, atau kacang tanah, serta umbi-umbian yang dihaluskan untuk mereka makan. Wuli memasukkan Kiki dan Lala ke rumah mungilnya, sebelum ditinggalnya ke sekolah. Nanti, pulang sekolah, kedua kelinci itu akan bermain lagi di halaman belakang bersama Wuli.

Di malam hari, sebelum tidur, Wuli menyiapkan makanan berupa seikat wortel, kangkung, atau sawi untuk Kiki dan Lala. Kelinci aktif di malam hari. Oleh karenanya perlu menyiapkan porsi makanan yang lebih banyak di malam hari. Begitu menurut buku yang pernah dibaca Wuli. Kiki juga pernah sakit. Kasihan sekali! Wuli pun dengan sabar merawatnya. Memberinya vitamin yang diperolehnya dari teman ibunya, seorang dokter hewan. Senang sekali hati Wuli ketika Kiki sehat kembali dan lincah bermain bersama Lala.

Wuli memang sudah siap memelihara kelinci. Ia bahkan membersihkan sendiri rumah kelinci-kelincinya. Ia tahu bahwa tidak nyaman bagi Kiki dan Lala jika rumah mungil mereka kotor dan lembab. Oleh karenanya, Wuli meminta Mang Asep membuat rumah mungil di bagian halaman yang terkena sinar matahari pagi. Semua sudah dipikirkan oleh Wuli. Terlihat sekali Kiki dan Lala senang dan sehat tinggal bersama Wuli. Memelihara hewan memang menyenangkan, walaupun tidak mudah. Wuliharus siap bertanggung jawab dan siap melimpahkan kasih sayang.

Kerja Bakti di Kebun Kelas
Di sekolah Dira, tiap kelas memiliki sepetak kebun kelas. Jenis tanaman yang dipelihara di kebun kelas disepakati bersama oleh semua siswa di kelas. Dira dan teman-temannya sepakat untuk memiliki sepetak kebun sayur. Mereka berdiskusi dengan Pak Wira, guru kelas mereka untuk menentukan jenis sayur yang dapat mereka pelihara bersama. Mereka pun memutuskan untuk memelihara tanaman sayur bayam dan kangkung. Selain cukup mudah dalam pemeliharaannya, masa tanam hingga panen untuk kedua jenis sayur ini cukup singkat. Kurang lebih 3-4 minggu mereka sudah dapat menikmati hasil panennya.

Semua siswa di kelas membawa satu buah pot untuk diletakkan di kebun kelas. Bibit kangkung dan bayam dicarikan oleh Pak Wira. Semua siswa melakukan penanaman mandiri, yang didampingi oleh Pak Dudi, tukang kebun sekolah. Cukup mudah cara menanamnya. Setelah itu, Dira dan teman-teman membuat jadwal piket pemeliharaan. Mereka mengatur sendiri agar semua siswa memperoleh jadwal penyiraman. Pagi dan sore, setiap hari! Ya, setiap sore pun ada siswa yang harus datang kembali ke sekolah untuk menjalankan tugas menyiram tanaman. Di hari Sabtu danMinggu pun ada siswa yang bergiliran datang untuk menyiram. Begitu pun jadwal pemberian pupuk. Mereka mengaturnya sendiri. Semua siswa harus terlibat dalam mengelola kebun kelas.

Seminggu setelah ditanam, ternyata tanaman bayam dan kangkung yang mulai meninggi kering kerontang terkena panas matahari yang menyengat. Dira dan teman-teman sempat sedih. Namun, Pak Dudi dan Pak Wira mengingatkan mereka untuk tetap bersemangat. Memelihara tanaman memang sesekali akan menemui masalah, namun mereka harus belajar dari masalah yang ditemui, jangan mudah menyerah. Dira dan teman-teman kembali membangun semangat. Mereka melakukan penanaman ulang, memelihara lagi dari awal.

Sebulan kemudian mereka memetik hasilnya. Kangkung dan bayam di kebun kelas tumbuh subur, hijau segar. Panen sayur dilakukan bersamasama oleh Dira dan teman-temannya. Ibu Dira dan ibu-ibu yang lain datang di hari panen. Mereka membantu Dira dan teman-teman memasak sayur bayam dan tumis kangkung untuk dimakan bersama. Berbeda rasanya, makan sayur hasil panen dari kebun sendiri. Berbeda rasanya makan sayur hasil kerja bakti di kebun kelas.

Bakal Buah Perlu Dijaga
Pohon mangga di depan rumah Kakek Topo terlihat sangat menggoda mata. Bakal- buah hijau mungil mulai banyak bergelantung di dahandahan. Sungguh menggoda! Namun, memang belum dapat dinikmati. Belum cukup besar, belum cukup matang.

Sore hari, ketika tiba waktu anak-anak bermain sepeda, pohon mangga tersebut sering menjadi sasaran keisengan anak-anak. Seperti sore itu. Ketika Kakek Topo sedang bersantai minum teh di teras depan, dilihatnya sekelompok anak bersepeda melompat-lompat di bawah pohon mangga. Mereka memetik bakal-bakal buah yang masih mungil itu! Tidak hanya satu. Banyak! Malah ada seorang anak yang membawa kantung plastik untuk menampung hasil petiknya.

Wah! Kakek Topo bergegas ke depan rumahnya. Tidak lantas diusirnya anak-anak itu, namun ia mengajak mereka mengamati bakal buah yang sudah mereka petik. “Lihatlah, perhatikanlah.” katanya. “Bakal buah ini belum menjadi buah yang matang, yang bisa kamu makan. Untuk apa kalian ambil? Hanya untuk mainan masak-masakan, atau malah hanya untuk main timpuktimpukan?” Kakek Topo bertanya lembut. Anak-anak itu diam tak menjawab. Sesungguhnya benar yang diduga Kakek Topo, mereka mengambilnya untuk bermain masak-masakan dan bermain adu lempar.

Melihat tak ada jawaban, Kakek Topo menambahkan. “Jika saja bakalbakal buah ini kalian diamkan di tempatnya, di dahan tempatnya bergantung, ia akan berkembang menjadi besar, semakin besar, akhirnya siap dipetik dan siap dinikmati. Pasti enak rasanya. Aku merasakannya setiap tahun. Manis!” kakek Topo berbicara terus, sambil memegang beberapa bakal buah yang terlanjur dipetik.

“Nanti, setelah kamu makan daging buah mangga yang manis itu, kamu bersihkan bijinya, lalu....,kamu tanam lagi di tempat yang kamu suka. Sabarlah menanti. Beberapa tahun kemudian kamu akan melihat sebatang pohon mangga yang sama besarnya dengan pohon mangga ini. Pohon mangga itu juga akan memberikan buah yang sama enaknya dengan buah mangga di pohon ini. Percayalah!” Kakek Topo terus saja berbicara. Ia tahu, anak-anak itu mendengarkan dengan seksama, walaupun terlihat agak takut. Mereka takut Kakek Topo marah.

Namun, Kakek Topo tidak ingin marah. Ia ingin anak-anak itu belajar. Maka ia pun terus berbicara. “Hitung saja, berapa banyak bakal buah yang sudah kalian petik. Artinya, berapa banyak calon pohon mangga yang tidak jadi tumbuh dan berkembang? Sayang ‘kan? Jangankan berpikir pohon mangga. Buah mangga manis yang sebentar lagi dapat dinikmati pun berkurang jumlahnya karena terlalu cepat dipetik.”

“Lain kali berpikir bijak sebelum bertindak, ya. Kakek yakin, kalian sudah belajar di sekolah mengenai tumbuh kembang tanaman.

Jadi, seharusnya kalian sudah mengerti dan hanya perlu diingatkan oleh Kakek.” Kakek Topo menutup nasihatnya dengan senyum. Lalu ia pun kembali masuk ke rumahnya. Lalu, anak-anak itu mengayuh sepedanya pelan, menjauh dari pohon mangga. Kakek Topo tersenyum mengamati dari teras rumah. Ia yakin, dalam perjalanan pulang anak-anak itu akan mengingat terus pesannya. Jika tadi Kakek Topo hanya marah dan mengusir mereka, besok mereka akan kembali lagi untuk melakukan hal yang sama. Tetapi, Kakek Topo tadi hanya mengingatkan. Bakal buah perlu dijaga, agar nanti menjadi buah yang dapat dinikmati. Bakal buah perlu dijaga, agar kelak menjadi pohon yang berbuah lebat lagi.

Terima Kasih Suster Komala!
Sakit memang tidak enak! Apalagi jika harus dirawat di rumah sakit. Namun, apa boleh buat, jika menurut dokter itu yang terbaik, ya harus dijalani. Itu yang aku rasakan saat ini. Sudah beberapa hari badanku panas tinggi. Ibu pun sudah beberapa malam tidak tidur, ia terus mendampingi dan mengompres badanku. Makan tidak enak, perut terasa mual, kepala pusing berputar-putar. Sedih rasanya tidak bisa sekolah, tidak bisa main dengan adik, tidak bisa main sepeda di luar.

Di hari keempat ibu membawaku ke dokter. Kata dokter, aku harus menjalani pemeriksaan darah. Duh, aku takut sekali! Untung ibu selalu ada di sampingku, memegang tanganku, menenangkan aku. Ternyata esok hari ibu memberi kabar, dokter menyatakan aku harus dirawat di rumah sakit. Aku terserang virus demam dengue, dan perlu dipantau dengan seksama oleh dokter dan perawat di rumah sakit. Aku menangis.

Aku takut. Aku membayangkan tidur di tempat yang asing, dirawat oleh orang asing juga. Ibu menenangkan aku. Ibu berjanji sebisa mungkin akan selalu ada di dekatku.

Ternyata, dugaanku tidak benar sepenuhnya. Memang, aku harus tidur di tempat yang asing bagiku. Di tempat tidur yang berpagar. Tiang infus berdiri tegak di samping tempat tidur. Jarum infus harus menempel di tanganku untuk mengalirkan cairan yang dibutuhkan tubuhku. Tetapi, di rumah sakit aku berkenalan dengan Suster Komala. Tak pernah sekali pun aku melihatnya tanpa senyum. Sabar sekali ia membantuku. Ia pun terampil memasang jarum infus di tanganku. Suster Komala tahu aku takut sekali. Maka, ia mengajakku bercerita, sehingga aku lupa dengan rasa takutku.

Pernah sekali, ibu harus pulang ke rumah di sore hari, sementara ayah belum pulang dari kantornya. Ibu menitipkanku pada Suster Komala. Tentu saja Suster Komala tidak dapat menemaniku terus, ada pasien lain yang juga harus dirawatnya. Aku diberinya buku bacaan, agar aku tidak kesepian. Ketika aku butuh sesuatu, aku boleh membunyikan bel, begitu pesannya. Ketika tiba waktu makan, Suster Komala yang membantuku.

Tanganku yang diinfus membuat gerakku terbatas. Aku makan dengan lahap, sambil bercerita tentang apa yang terlintas di benakku. Aku senang bercerita pada Suster Komala. Ia selalu menanggapi ceritaku dengan baik, ia juga terus tersenyum. Ketika harus minum obat, Suster Komala juga memberiku semangat. Pahit sedikit tidak apa-apa, yang penting segera sehat. Begitu pesannya.

Lima hari aku dirawat di rumah sakit. Sekarang aku sudah sehat kembali. Aku merasa sangat terbantu dengan kehadiran Suster Komala. Tak kenal lelah, tak pernah bermuka masam. Senyum dan bantuannya membuatku lebih mudah menjalani hari-hariku di rumah sakit. Terima kasih Suster Komala!

Pantang Menyerah di Persimpangan Jalan
Aku tinggal di dekat pasar. Kemacetan aku rasakan setiap hari ketika berangkat dan pulang dari sekolah. Aku tidak lagi dapat mengeluh, karena tidak ada jalan lain. Aku harus melewati pasar, lalu melewati perempatan setelah pasar, lalu melewati pertigaan setelahnya. Paling sedikit ada tiga titik kemacetan yang harus aku lewati setiap hari!

Untuk mengurangi rasa kesal melewati kemacetan, aku mengalihkan perhatian ke suasana di sekitar jalan yang kulewati. Aku mengamati perilaku penumpang di dalam angkutan kota, aku mengamati berbagai kegiatan di sekitar pasar, atau aku mengamati kendaraan-kendaraan yang melintas.

Di antara berbagai situasi yang aku amati, tak pernah sekali pun terlewat olehku untuk mengamati Pak Polisi di persimpangan setelah pasar. Sudah beberapa minggu aku perhatikan, Pak Polisi itu selalu ada. Pagi hari ketika aku berangkat ke sekolah, dan di siang terik ketika aku pulang dari sekolah. Sosok yang tegap dan gagah, dengan gerak tangan yang tegas. Pak Polisi mengatur lalu lintas di persimpangan dan menindak tegas setiap pelanggar aturan.

Pernah beberapa kali ketika hujan deras, aku menduga Pak Polisi tidak ada di persimpangan. Ternyata ia tetap ada! Hanya berbalut jas hujan, dan wajah basah terguyur air hujan. Ia pantang menyerah mengatur lalu lintas di persimpangan pasar, yang memang lebih padat ketika hujan. Tak dihiraunya hujan deras, seperti tak dihiraunya terik panas matahari ketika hari terang. Pak Polisi itu selalu ada! Tidak terhitung berapa kali ia berhasil mengurai kemacetan di persimpangan. Tidak terhitung berapa kali ia menindak pelanggar lalu lintas yang membuat kemacetan bertambah parah.

Keinginannya hanya satu! Menjaga persimpangan tetap lancar, membuat kendaraan melintas dengan nyaman. Ketika banyak orang hampir menyerah melewati kemacetan di persimpangan, Pak Polisi pantang menyerah! Ia selalu ada di persimpangan jalan, mengatur dan memastikan kenyamanan para pengguna jalan.

Mengubah Dunia Melalui Tulisan
Aku bangga dengan ibuku. Ia tidak sibuk bekerja di kantor dari pagi hingga sore. Ia ada di rumah menemani aku dan adikku sepanjang hari. Sejak dini hari ibu yang selalu sibuk menyiapkan segala keperluan aku, adik, dan ayah. Aku pikir, ibu akan beristirahat kembali setelah aku dan adik berangkat ke sekolah.

Ternyata tidak. Ibu menjalani kesibukannya membereskan rumah dan memasak untuk kami. Ibu memang hebat! Tetap saja, setelah memasak ibu tidak beristirahat. Padahal, aku dan adik masih ada di sekolah. Ibu membuat tulisan. Ya, ibu memang gemar menulis, juga gemar membaca. Aku merasa, kedua kegemaran ibu saling menguatkan. Ibu suka menulis karena banyak membaca, atau ibu suka membaca untuk bisa menulis lebih banyak.

Sering kutemui, ibu masih asyik menyelesaikan tulisannya ketika aku dan adik pulang sekolah. Tetapi tidak lama. Ia akan kembali menemani kami, dan melanjutkan menulis setelah kami tidur di malam hari. Ibu mengirimkan tulisannya ke berbagai majalah. Beberapa kali tulisan ibu dimuat di majalah anak, majalah remaja, atau majalah ibu dan anak. Berbagai situasi dapat menjadi sumber inspirasi bagi tulisannya. Kata ibu, sumber inspirasi utamanya adalah aku dan adikku, teman-teman kami, atau cerita seputar peristiwa yang kami alami.

Tulisan ibu berupa cerita ringan, namun selalu berisi pesan yang dalam. Ibu pernah bercerita bahwa ibu hanya ingin berbagi pesan. Ibu ingin menyampaikan pelajaran hidup yang dialami dan disaksikannya melalui tulisan. Ia ingin bisa mengubah dunia dengan pesan-pesan kecil yang disampaikan melalui ceritanya. Ibu yakin, cerita apa pun, sederhana sekali pun, dapat mengubah pandangan pembaca mengenai peristiwa dalam hidup. Jika banyak yang membaca tulisan ibu, bukan tidak mungkin ia bisa mengubah dunia!

Aku bangga terhadap ibu. Apa yang dilakukannya memang sederhana, namun niatnya sangat mulia. Mengubah dunia melalui tulisan!

Sahabat Bumi
Besok hari Minggu. Aku boleh tidur lebih larut malam ini. Aku senang, karena aku bisa menemani ayah bekerja. Ayahku seorang arsitek. Kadangkadang di malam hari ia harus menyelesaikan gambar rancangan rumah.

Aku senang duduk diam di samping meja gambar ayah, melihatnya berpikir, mencari ide, menarik garis, mengukur, serta membuat gambar yang mewujudkan idenya. Aku kagum dengan keterampilan ayah menggambar bangunan, namun aku lebih kagum dengan ide-ide merancang bangunan yang sering ayah ceritakan padaku.

Kata ayah, menjadi arsitek juga harus bijak. Tidak hanya menggambar untuk mewujudkan rumah pesanan pelanggan. Arsitek pun harus bisa memberikan saran kepada pelanggan dalam merancang bangunannya. Apalagi saat ini. Ketika Bumi sudah semakin panas, ketika hutan semakin gersang, sebaiknya merancang rumah yang tidak menambah buruk kondisi Bumi.

Beberapa waktu belakangan ini, ayah selalu merancang rumah yang ramah lingkungan. Bahan bangunan yang digunakan dalam rancangannya sebisa mungkin tidak menghabiskan banyak pohon. Ia memadukan bahan pengganti kayu, bambu misalnya, untuk beberapa bagian bangunan yang memungkinkan. Ia juga selalu menyarankan pelanggannya untuk tidak sering menggunakan pendingin ruangan. CFC yang digunakan pada pendingin ruangan akan menambah lubang pada lapisan ozon, dan akan menambah panas Bumi ini. Oleh karenanya, rumah rancangannya selalu memiliki banyak jendela dan saluran udara.

Ayah juga selalu merancang rumah yang hemat energi. Di pagi hingga sore hari, tak perlu ada lampu yang dinyalakan. Rumah rancangan ayah dilengkapi banyak kaca yang bisa ditembus oleh sinar matahari.

Malam ini aku menyaksikan lagi ayahku menyelesaikan rancang bangunannya. Sebuah rumah mungil yang ramah lingkungan. Ketika besar nanti, aku ingin menjadi arsitek seperti ayah. Arsitek yang merancang dengan bijaksana. Arsitek yang senantiasa menjadi sahabat Bumi.

Polisi Hutan, Menjaga Kelestarian
Pernahkah kamu tahu mengenai pekerjaan seorang Polisi Hutan? Aku beruntung karena memiliki seorang paman yang bekerja sebagai Polisi Hutan. Paman Azis saat ini berdinas di Pulau Komodo. Pulau ini merupakan taman nasional yang dikenal oleh dunia karena dihuni oleh komodo, reptil langka yang hanya ada di pulau tersebut.

Mengapa di pulau ini harus ada Polisi Hutan? Pulau Komodo merupakan salah satu wilayah konservasi yang harus dijaga kelestariannya. Semakin langka hewan atau tumbuhan, semakin banyak wisatawan yang ingin datang melihatnya. Jika tidak dijaga, akan banyak pula wisatawan yang melanggar aturan berkunjung di wilayah konservasi. Jika tidak ada yang mengawasi, wilayah tersebut akan rusak oleh wisatawan. Bukan sekedar rusak keindahan alamnya, namun rusak pula kondisi habitat hewan dan tumbuhannya.

Nah, di Pulau Komodo Paman Azis dan teman-temannya bertugas mengingatkan pengunjung untuk taat kepada aturan yang ditetapkan untuk pulau tersebut. Pengunjung yang datang ke pulau ini harus menjaga kenyamanan habitat komodo. Selain untuk menjaga kelestarian komodo, juga untuk menjaga keamanan pengunjung. Komodo adalah binatang buas pemakan daging. Untuk itu, pengunjung harus selalu berada dalam rombongan yang didampingi oleh Polisi Hutan. Sebagai Polisi Hutan,

Paman Azis juga memiliki pengetahuan yang lengkap tentang komodo dan wilayah habitatnya. Jadi, Paman Azis juga menjadi pemandu yang memperkaya pengetahuan pengunjung tentang hewan langka tersebut. Paman Azis pun harus dapat bertindak tegas pada wisatawan yang seringkali ingin mengabadikan komodo dari jarak dekat.

Tanggung jawab Paman Azis dan teman-temannya cukup berat. Mereka harus menjaga agar Pulau Komodo tetap menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi hewan langka tersebut. Polisi Hutan berperan penting dalam menjaga kelestarian hewan dan tumbuhan di wilayahnya, agar tetap adauntuk dikenal dan dipelajari oleh manusia.

Kakek, Pahlawanku
Aku pulang sekolah sambil menangis. Kesal sekali hatiku hari ini. Lagilagi teman-teman mengejekku. “Si hitam..., si hitam..!” begitu mereka selalu memanggilku. Kulitku memang hitam, rambutku juga hitam. Mau bagaimana lagi? Ayah dan ibuku juga berkulit hitam, bagaimana mungkin
aku bisa berkulit putih? Awalnya aku hanya diam. Diam tak menjawab. Tetapi teman-temanku tidak berhenti mengejekku.

Semakin aku diam, semakin banyak teman yang ikut mengejek. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku diam..,dan diam..,menahan tangis, yang akhirnya tak tertahan lagi di perjalanan pulang.
Sampai di depan rumah, ternyata ada kakek yang duduk di teras depan.

Aku mengusap air mata, berusaha menyembunyikan tangisku. Tetapi kakek selalu tahu. Ia selalu tahu ketika aku sedang sedih. Kakek hanya tersenyum dan memintaku duduk di sampingnya. Kakek diam tak bertanya, hanya mengusap punggungku lembut, menunggu tangisku reda.

Akhirnya aku bercerita pada kakek. Aku menumpahkan kesal hatiku pada teman-teman yang mengejekku. Kakek tersenyum dan tersenyum lagi. Aku hampir saja bertambah kesal. Mengapa kakek tidak ikut marah pada temantemanku? Setelah habis ceritaku, kakek berkata “Jangan memberatkan hati dengan masalah yang kecil. Coba cari akal untuk meringankan beban hatimu.”

“Bagaimana caranya, Kek? Aku sudah diam.., dan diam tidak menanggapi.

Tetapi teman-temanku tidak berhenti mengejekku.” aku menjawab permintaan Kakek dengan cepat. “Besok, ketika teman-teman mengejekmu..’Si hitam...Si hitam..!’ kamu jawab saja ‘tapi manis, ‘kan?” Kakek memberiku saran.

Aku heran. Saran apa itu? Aku takut teman-teman akan semakin mengejekku. Tetapi kakek meyakinkan aku. Ia malah memintaku melatihnya berulang-ulang. Sore itu, aku bisa tertawa. Biarlah. Aku coba saja besok. Mungkin saja Kakek benar, begitu pikirku.

Ternyata, Kakek benar! Esok harinya, ketika teman-teman mengejekku lagi, aku langsung menjawab. Aku menjawab dengan kalimat yang sudah berulang kali aku latih.

“Tapi maniiiiss, ‘kan?”

Ajaib! Teman-temanku lalu diam termangu mendengar jawabanku.

Lalu, salah seorang temanku menjawab pelan “Iya sih..., kamu memang hitam, tetapi memang maniis juga...” begitu katanya. Temanku yang lain lalu tertawa. Lalu aku juga tertawa. Kami memang berteman dekat, walau kadang-kadang kami lupa batas ketika bercanda.

Benar kata Kakek! Tak perlu memberatkan hati dengan masalah yang kecil. Gunakan akal yang cerdik untuk meringankan beban hati. Kakek membelaku dengan caranya yang cerdik. Kakek mengajarku untuk membela diri dengan akal pikiranku. Terima kasih atas nasihatmu..., Kakek, Pahlawanku!

Idolaku, Pahlawanku
Sore ini aku termangu di teras rumah. Aku menyaksikan teman-teman bermain sepeda dengan riang. Mereka berputar mengelilingi lapangan di depan rumahku. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin bisa bermain sepeda. Aku ingin bisa ikut pawai sepeda hias minggu depan. Tetapi aku belum bisa bermain sepeda! Ayah selalu pulang di malam hari. Tidak ada yang mengajariku naik sepeda. Aku tidak mungkin minta teman-teman mengajariku. Aku malu!

Aku masih termangu ketika kulihat pagar depan terbuka. Abang pulang! Abangku sekolah di di SMA kabupaten, kelas 10. Umurnya enam tahun di atasku. Abang hanya pulang di akhir pekan. Di hari sekolah, ia tinggal dengan paman, yang rumahnya dekat dengan SMA kabupaten. Abang duduk di sebelahku. Ia menanyakan kabarku. Aku langsung bercerita tentang keinginanku. Aku bercerita bahwa aku iri dengan teman-teman yang bersepeda lancar di depan rumah.

Abang langsung menggandeng tanganku. Ia mengajakku mengambil sepeda di belakang rumah. Diperiksanya ban sepeda. Agak kempis karena jarang dipakai. Abang meminjam pompa sepeda ke tetangga sebelah rumah. Aku hanya memperhatikan Abang. Apa yang akan dilakukannya?

Setelah memompa ban sepeda, Abang membawa sepeda ke luar rumah. Ia memanggilku. “Ayo, belajar naik sepeda dengan Abang!” begitu katanya. Aku pun tersenyum riang. Oh..iya..! Abang ‘kan pandai bersepeda. Ia malah pernah menjadi pemenang lomba balap sepeda di kabupaten. Aku lupa, Abang sudah cukup besar. Ia bisa mengajariku bersepeda. Aku tidak usah menunggu ayah punya waktu di akhir pekan untuk mengajarku.

Sore itu Abang membimbingku dengan sabar. Dipegangnya sepeda dari belakang. Diajarnya aku mengayuh dengan benar. Beberapa kali aku jatuh, tetapi aku tidak menyerah. Abang terus memberiku semangat. Langit mulai jingga, matahari hampir terbenam. Aku sudah mulai lancar bersepeda! Abang hanya mengikutiku dari belakang. Sepeda tidak perlu dipegangnya lagi. Aku senang sekali. Kalau aku rajin bersepeda setiap sore, minggu depan aku sudah bisa ikut pawai sepeda hias.

Abangku adalah idolaku. Tidak dihiraukannya tubuh lelah setelah menempuh perjalanan dari kabupaten. Abang sabar membantuku belajar bersepeda. Abangku adalah pahlawanku. Terima kasih, Abang!

Pahlawan Tak Terduga
Boni menggaruk-garuk kepalanya. Rambutnya berantakan. Sudah sepuluh menit Boni berkeliling kelas, dari satu meja ke meja lain. Isi tasnya pun berantakan di atas meja. Pensilnya hilang! Boni hanya membawa sebuah pensil ke sekolah. Sekarang pensil itu hilang! Padahal sebentar lagi ulangan matematika akan dimulai. Duh..bagaimana ini?

Boni berkeliling mendatangi teman-temannya. Ia ingin meminjam pensil. Tetapi,...teman-temannya menolak. Mereka hanya membawa pensil yang cukup bagi mereka. Lagipula, teman-teman kesal dengan Boni. Ia jarang membawa alat tulis dari rumah, hanya mengandalkan pinjaman dari teman-temannya.

Lalu, menghilangkan pensil pinjamannya entah ke mana. Boni tidak bertanggung jawab! Hari itu muka Boni yang memelas tidak dihiraukan oleh teman-temannya. Gawat! Jika Pak Halim tahu Boni tidak siap, pasti ia tidak diijinkan mengikuti ulangan matematika. Tidak membawa alat tulis bisa dianggap tidak siap mengikuti ulangan. Boni terduduk lemas di mejanya. Ia tahu ini akibat keteledorannya sendiri. Boni bingung bagaimana nanti harus menjawab pertanyaan Pak Halim.

Tiba-tiba..., ada tangan menyentuh punggung Boni. Tangan Bima. Ia menyodorkan sebatang pensil. “Ini, kamu boleh pinjam pensilku. Aku membawa pensil lebih hari ini,” katanya Boni terdiam. Boni ragu untuk mengambil pensil itu, tetapi Bima sudah meletakkannya di atas meja.

Boni malu! Boni sering mengejek Bima. Tubuhnya kecil, tak banyak bicara, walaupun ia pandai. Ia hanya diam tak membalas ketika Boni terusterusan mengejeknya.

Hari ini Boni yang terdiam. Bima, yang sering diejeknya, menjadi penyelamatnya. Boni bisa mengikuti ulangan matematika karena Bima, pahlawan tak terduga.

Pahlawan Tak Terlihat
Siang ini terik sekali. Panas matahari terasa membakar kulit. Pak Amat memikul dagangannya dengan lemas. Ia berjalan menyeret kaki. Peluh keringat bercucuran membasahi dahi dan tubuhnya. Panas sekali! Pak Amat melirik dagangannya sekilas. Masih banyak! Tak kuat lagi kaki Pak Amat melangkah untuk menjajakan pisang di pikulannya.

Terus melangkah dengan berat, ia melihat sebatang pohon besar yang rimbun di pinggir jalan. “Ah..., akhirnya ada tempat untuk berteduh sejenak. Aku harus beristirahat agar kuat berkeliling lagi menghabiskan daganganku,” katanya dalam hati.

Pak Amat meletakkan dagangannya di bawah pohon itu. Ia minum air yang tersisa di botolnya, meluruskan punggungnya yang pegal, lalu membaringkan diri di samping pikulannya. Tak lama kemudian, ia pun tertidur lelap. Pulas!

Menjelang sore, langit mulai bersahabat. Terik matahari mulai mereda. Pak Amat terbangun dari tidur pulasnya. Segar dan bugar tubuhnya. Keringatnya menguap, lelahnya pun lenyap. Sambil duduk bersandar di batang pohon rimbun itu, Pak Amat mengucap dalam hati, “Terima kasih kepada siapa pun..., wahai engkau yang menanam pohon rindang ini. Tanpa jasamu, aku pasti lemas. Tak henti berjalan di bawah terik matahari. Terima kasih untukmu, pahlawan tak terlihat.” Lalu, Pak Amat berdiri, memanggul pikulannya. Ia berjalan lagi dengan semangat. “Pisang...pisaang...!” teriaknya keras.

Ia Hanya Seorang Ibu.....
Ketika libur sekolah, aku selalu berjalan pagi di sekitar taman kota. Aku senang menghabiskan waktu di sana. Jika lelah, aku biasanya duduk saja di pinggir jalan, mengamati orang lalu lalang di bawah pohon-pohon rindang.

Aku perhatikan setiap pagi ada seorang ibu yang rajin menyapu daundaun yang berserakan di bawah pohon. Ia menyapu dari ujung jalan satu hingga ujung jalan lain. Daun yang disapunya lalu dikumpulkannya di bawah pohon rindang. Nanti, daun itu akan terpanggang panas matahari, lalu tersiram hujan.

Terus menerus. Lalu, tumpukan daun akan hancur menjadi humus. Ibu penyapu daun selalu berpakaian yang sama. Kaus putih, sarung batik, dan caping. Hanya itu. Ia tidak mengenakan pakaian seragam dari dinas kebersihan jalan. Walaupun tak pernah bertanya, aku mengira pekerjaan sesungguhnya memang bukan penyapu jalan. Aku mengira ia hanyalah seorang ibu yang peduli dengan lingkungannya.

Seminggu kemudian, aku menemukan jawaban atas perkiraanku. Ketika akan membeli sebungkus nasi uduk di taman kota, aku bertemu dengan si ibu penyapu daun. Ternyata, ibu penyapu daun adalah pedagang minuman di taman kota. Ia berjualan ditemani anak laki-lakinya. Ketika sempat, ia meninggalkan sejenak dagangannya untuk menyapu daundaun di bawah pohon rindang.

Aku tertegun, kagum pada si ibu. Tidak ada yang membayarnya untuk menyapu daun-daun yang terserak di bawah pohon. Ia hanya seorang ibu, yang peduli pada kebersihan lingkungannya. Ia hanya seorang ibu, yang mau berbuat lebih untuk lingkungannya.

Silahkan Tulis Komentar Anda